Selasa, 17 Januari 2017

Pengelolaan Lahan Basah Ekosistem Berbasis Masyarakat

BAB II

PEMBAHASAN


2.1.    Komponen-Komponen  Penyusun  Ekosistem Mangrove

 Komponen-komponen penyusun ekosistem mangrove terdiri dari 2 komponen yaitu komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik terdiri dari :
1.    Produsen yaitu organism yang bisa membuat makanannya sendiri (autotropik) karena memiliki butir-butir klorofil sehingga mapu melakukan proses fotosintesis. Secara sepintas dapat dilihat bahwa ekosistem mangrove dipenuhi oleh tumbuhan pepohonan berhijau daun, diantaranya yaitu: Aegiceras corniculatum, Avicennia alba, Avicennia officinalis, Bruguiera clyndrica, Bruguiera hainessii, Ceriops decandra, Ceriops tagal, Excoecaria agallocha, Lumnittzera littorea, Lumnitzera racemosa, Nypa fruticans, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Schyphypora hydrophyllacea, Sonneratia alba, Sonneratia ovate, Xylocarpus granatum, dan Xylocarpus moluccensis. Di dalam kawasan ekosistem mangrove yang selalu tergenang air kemungkinan dapat ditemukan fitoplankton atau plankton nabati. Plankton adalah mikroorganisme atau larva yang melayang dalam air, tidak dapat bergerak sendiri, atau daya geraknya lemah sehingga mudah terpengaruh oleh gelombang atau arus air. Beberapa fitoplankton laut diantaranya adalah : Asterionella, Amphiphora, Bacillaria, Coscinodiscus, Dytilum, Eucampia, Guinardia, Hemiaulus, Licmophora, Mastogloia, Nitzschia, Planktoniella, Pleurosigma, Rhizosolenia, Skeletonema, Surirella, Thalassionema, Thalassiosira, (Diatom), Amphisolenia, Ceratium, Ceratocorys, Dinophysis, Gonyauulax, Gymnodinium, Noctiluca, Ornithocerus, Peridinium, Prorocentrum,  dan  Pyrocycistis (Dianoflagellata).
2.    Konsumen yaitu organism yag tidak dapat membuat makanannya sendiri (heterotropik) sehingga harus mengambil makannya dari organisme produsen. Di dalam ekosistem mangrove, organisme konsumen terdiri atas :
a.     Zooplankton atau plankton hewani, misalnya : Tintinnopsis, Dyctiota, Rhabdonella, Globigerina,   Aulosphaera,   (protozoa),       Calanus Centropages,  Oithona, Euchaeta  Carinaria, Janathina (moluska), dan beberapa larva ikan yang masih bersifat planktonik (iktioplankton).
b.    Bentos yaitu organism yang hidup di dasar ekosistem mangrove. Bentos dapat dibedakan atas epifauna (hidup di atas permukaan dasar) dan infauna (hidup membenamkan diri di dalam dasar).
c.     Neuston yaitu organism yang hidup pada daerah permukaan air.
d.    Perifiton yaitu organism yang hiodup pada batang, daun, atau akar tumbuhan yang terdapat di dalam ekosistem mangrove.
e.     Nekton yaitu organism yang dapat berenang masuk ke dalam dan keluar dari kawasan ekosistem mangrove.

2.2.   Peranan Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan, mempunyai peranan fungsi multi guna baik jasa biologis, ekologis maupun ekonomis. Peranan fungsi fisik mangrove mampu mengendalikan abrasi dan penyusupan air laut (intrusi) ke wilayah daratan, serta mampu menahan sampah yang bersumber dari daratan, yang dikendalikan melalui sistem perakarannya. Jasa biologis mangrove sebagai sempadan pantai, berperan sebagai penahan gelombang, memperlambat arus pasang surut, menahan serta menjebak besaran laju sedimentasi dari wilayah atasnya. Selain itu komunitas mangrove juga merupakan sumber unsur hara bagi kehidupan hayati (biota perairan) laut, serta sumber pakan bagi kehidupan biota darat seperti burung, mamalia dan jenis reptil. Sedangkan jasa mangrove lainnya juga mampu menghasilkan jumlah oksigen lebih besar dibanding dengan tetumbuhan darat.
Peranan fungsi ekologis kawasan mangrove yang merupakan tempat pemijahan, asuhan dan mencari makan bagi kehidupan berbagai jenis biota perairan laut, di sisi lain kawasan mangrove juga merupakan wahana sangtuari berbagai jenis satwa liar, seperti unggas (burung), reptil dan mamalia terbang, serta merupakan sumber pelestarian plasma nutfah.
Manfaat ekonomis mangrove, juga cukup memegang peranan penting bagi masyarakat, karena merupakan wahana dan sumber penghasilan seperti ikan, ketam, kerang dan udang, serta buah beberapa jenis mangrove dapat dimanfaatkan  sebagai bahan makanan. Manfaat lainnya merupakan sumber pendapatan masyarakat melalui budidaya tambak, kulit mangrove bermanfaat dalam industri penyamak kulit, industri batik, patal dan pewarna jaring, serta sebagai wahana wisata alam, penelitian dan laboratorium pendidikan.




2.3.  Kerusakan pada Ekosistem Mangrove

            Kerusakan ekosistem mangrove lebih disebabkan oleh akibat kegiatan manusia (antropogenik) baik secara langsung maupun tidak langsung. Kawasan mangrove umumnya berada pada pesisir dan keberadaannya terancam oleh kebutuhan masyarakat yang berada di sekitarnya. Kebutuhan itu dapat berupa pemanfaatan lahan untuk pemukiman, sebagai lahan kegiatan ekonomi seperti industry maupun pertambakan, dan kebutuhan bahan bakar non-migas. Kebutuhan-kebutuhan itu memaksa masyarakat untuk melakukan banyak hal yang dapat merusak hutan mangrove seperti membuka dan menkonversi lahan serta penebangan liar.
Kerusakan-kerusakan dapat menurunkan fungsi-fungsi mangrove baik secara bio-ekologis berupa rusaknya sistem maupun fungsi ekonomis berupa penurunan produksi. Kesalahan manajemen hutan mangrove juga berpotensi besar terhadap degradasi fungsi mangrove. Ada beberapa dampak yang akan muncul sebagai akibat aktivitas manusia pada atau sekitar wilayah mangrove antara lain yaitu :
1.    Tebang habis berdampak terhadap berubahnyakomposisi tumbuhan, pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai komersialnya rendah dan terjadi penurunan fungsi sebagai feeding, nursery, psawning ground.
2.    Pengalihan aliran air tawar misalnya pada pembangunan irigasi berdampak pada peningkatan salinitas dan penurunan kesuburan mangrove.
3.    Konversi lahan menjadi pertanian, perikanan dan pemukiman dapat mengancam regenerasi stok ikan udang di perairan lepas pantai, terjadinya pencemaran laut oleh pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat mangrove. Terjadi pendangkalan pantai, abrasi, dan inutrisi air alut.
4.    Pembuangan sampah cair berdampak pada penurunan kandungan oksigen, munculnya gas H2S.
5.    Pembuangan sampah padat memungkinkan tertutupnya pneumatopor yang berakibat kematian mangrove dan perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat.
6.    Pencemaran dengan tumpahan minyak menyebabkan kematian mangrove.
7.    Penambangan dan ekstraksi mineral baik dalam hutan maupun daerah sekitar hutan menyebabkan kerusakan total ekosistem mangrove sehingga menghancurkan fungsi bio-ekologis mangrove dan terjadinya pengendapan sedimen yang berlebihan yang menyebabkan kemtian mangrove.
Kerusakan alami merupakan akibat lanjut dari kerusakan akibat kegiatan antropogenik. Terpaan ombak yang terus-menerus akan merusak ekosistem mangrove. Akan tetapi, hal ini tidak akan terjadi apabila tidak terjadi penurunan fungsi mangrove sebagai penahan gelombang akibat kegiatan manusia.

2.4.   Melestarikan  Ekosistem Mangrove di Teluk Tamiang

Ekosistem mangrove yang rusak dapat dipulihkan dengan cara restorasi atau rehabilitasi. Restorasi dipahami sebgai usaha mengembalikan kondisi lingkungan kepada kondisi semula secara alami. Campur tangan manusia diusahankan sekecil mungkin terutama dalam memaksakan keinginan untuk menumbuhkan jenis mangrove tertentu menurut yang dipahami/diingini manusia. Dengan demikian usaha restorasi semestinya mengandung makna member jalan/peluang terhadap alam untuk mengatur/memulihkan dirinya sendiri. Kita manusia sebagai pelaku mencoba membuka jalan dan peluang serta mempercepat proses pemulihan terutama karena dalam beberapa kondisi, kegiatan restorasi secra fisik kan lebih murah dibandingkan kita memaksakan penanaman mangrove secara langsung.
Restorasi perlu dipertimbangkan ketika suatu system telah berubah dalam tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau memperbaharui diri secara alami. Dalam kondisi seperti ini, ekosistem homeostasis telah berhenti secara permanen dan proses normal untuk suksesi tahap kedua atau perbaikan secara alami setelah kerusakan terhambat oleh bebagai sebab.
Secara umum habitat bakau dapat memperbaiki kondisinya secara alami dalam waktu 15-20 tahun jika :
1.    Kondisi normal hidrologi tidak terganggu
2.    Ketersediaan biji dan habitat serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi.
Jika kondisi hidrologi adalah normal atau mendekati normal tetapi biji bakau tidak dapat mendekati daerah restorasi, maka dapat direstorasi dengan cara penanaman. Oleh karena itu, habitat bakau dapat diperbaiki tanpa penanaman, maka rencana restorasi harus terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut yang terhalangi atau tekanan-tekanan lain yang mungkin menghambat perkembangan bakau.
Pengelolaan hutan mangrove di Indonesia saat ini diarahkan kepada rehabilitasi karena banyaknya kawasan yang rusak sehingga jika kegiatan tersebut berhasil, diharapkan dapat mengembalikan fungsi ekologisnya untuk  menyediakan jasa lingkungan bagi masyarakat sekitarnya dan bagi masyarakat yang berada di luar kawasan tersebut. Namun kegiatan rehabilitasi tersebut tidak bisa mengabaikan isu-isu ekonomi dan soaial terkait kehadiran masyarakat di sekitarnya.


Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan Mangrove sangat penting karena dapat menjadi faktor sukses dari pengelolaan itu sendiri, sebagaimana terbukti pada beberapa kegiatan rehabilitasi mangrove di daerah Sinjai Sulawesi Selatan (Irawanti dan Kuncoro, tanpa tahun) dan Aceh (Kusmana dan Samsuri, 2009). Pelibatan masyarakat juga dilakukan di banyak negara seperti Vietnam dan Bangladesh (Islam, tanpa tahun ).
Menurut Kementrian Kehutanan (2013) menyebutkan pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat merupakan bagian dari kebijakan Strategi    Nasional    Pengelolaan    Ekosistem    Mangrove    guna  meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Pengelolaan mangrove harus mengikuti azas: (1). Transparansi, yaitu bisa diakses oleh semua pihak untuk ditinjau ulang; (2). Partisipatif, yaitu mengakomodasi semua komitmen stakeholders dan dapat diterapkan secara partisipatif ; (3). Akuntabilitas, yaitu disosialisasikan kepada publik dan dikaji secara menyeluruh, ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan; (4). Responsif, yaitu mampu mengantisipasi perubahan komitmen lokal, nasional dan global terhadap  ekosistem mangrove; (5). Efisiens, yaitu mempunyai kemampuan untuk menserasikan kebijakan (Pusat dan Daerah) secara harmonis; (6). Efektif, yaitu dapat dilaksanakan tepat sasaran oleh para pihak baik pemangku kepentingan maupun masyarakat ; dan (7) Berkeadilan, yaitu mampu memberikan manfaat sesuai dengan tanggung jawab masing-masing pihak yang terlibat.
Faktor lain yang penting diperhatikan dalam pengelolaan mangrove berkelanjutan adalah pengakuan terhadap masyarakat adat dan kearifan lokal yang dimilikinya. Menurut UU Nomor 32/2009, nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat perlu dihidupkan kembali guna melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Sedangkan mengacu kepada Kementrian Kehutanan (2013) keterpaduan dalam pengelolaan mangrove direalisasikan dengan cara :
1.        Pengelolaan ekosistem mangrove sebagai bagian integral dari pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai).
2.        Memperkuat komitmen politik dan dukungan kuat pemerintah, pemerintah daerah, dan para pihak.
3.        Koordinasi dan kerjasama antar instansi dan para pihak terkait secara vertical dan horizontal.
4.        Peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kewenangan dan kewajiban pengelolaan ekosistem mangrove sesuai dengan kondisi dan aspirasi lokal.
5.        Pengembangan riset, iptek dan sistem informasi yang diperlukan untuk memperkuat pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan.


6.        Pengelolaan ekosistem mangrove melalui pola kemitraan antara pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dengan dukungan lembaga dan masyarakat Internasional, sebagai bagian dari upaya mewujudkan komitmen lingkungan global.
Keterpaduan pengelolaan mangrove dalam konteks wilayah dikenal dengan istilah ekoregion, yang dalam UU nomor 32/2009 diterjemahkan sebagai wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Konsep ini sulit diterapkan di Indonesia  karena pembagian wilayah admnistrasi yang tidak memperhatikan kesamaan karakteristik kawasan. Akibatnya pembangunan di suatu wilayah administrasi berpotensi merusak kawasan di wilayah administrasi lainnya karena perencanaan dan pelaksanakan pembangunan yang tidak terintegrasi dengan baik.
Kusmana (2010) menganjurkan pentingnya pengelolaan mangrove yang rasional, Mangrove harus dimanfaatkan berdasarkan prinsip keberlanjutan dan untuk tujuan beragam ( multipurpose) sesuai dengan diversitas dan potensi sumberdaya dan jasa lingkungan yang dapat disediakan, sebagaimana dijelaskan pada gambar berikut.

Gambar 1         Multi-Use Pengelolaan Wilayah Pesisir (sumber: Kusmana, 2010)


Selanjutnya Kusmana (2010) menjelaskan pengelolaan mangrove harus dapat dipanen secara berkelanjutan dan dipertahankan secara alami seperti  semula. Preservasi sebagian areal mangrove yang betul-betul tidak terganggu (pristine mangrove forest) seharusnya diperjuangkan atau dialokasikan sehingga jika suatu pengelolaan mengalami kegagalan yang menyebabkan kerusakan bahkan hilangnya mangrove tersebut, bagian pristine mangrove forest dapat menjadi penyelamat kondisi tersebut. Ekosistem mangrove harus dikelola berdasarkan pada paradigma ekologi yang meliputi prinsip-prinsip interdependensi antar unsur ekosistem, sifat siklus dari proses ekologis, fleksibilitas, diversitas dan koevolusi dari organisme beserta lingkungannya dalam suatu unit fisik DAS.


BAB III PENUTUP


A.    KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari makalah tentang ekosistem mangrove ini yaitu :
1.      Komponen penyusun dari ekosistem mangrove yaitu komponen biotic dan komponen abiotik.
2.      Ekosistem mangrove memiliki penanan biologis, ekologis, dan ekonomis
3.      Kerusakan ekosistem mangrove di Teluk Tamiang diakibatkan oleh kegiatan manusia dan faktor alami yaitu tsunami.
4.      Ekosistem mangrove di Teluk Tamiang yang rusak dapat dipulihkan dengan cara restorasi atau rehabilitasi.

B.    SARAN

Dalam penyusunan makalah ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya memerlukan kritik dan saran dari berbagai pihak sehingga makalah ini menjadi lebih baik dan bermanfaat


DAFTAR PUSTAKA


https://staff.blog.ui.ac.id/tarsoen.waryono/files/2009/12/22-restorasi- mangrove.pdf