KLICK ALAMAT DIBAWAH INI UNTUK MEMUNCULKAN FILE
https://drive.google.com/file/d/0B-_kGJmUMMp0WWtubmVhbUtGZHM/view?usp=sharing
ILMU KELAUTAN BERMANFAAT
Rabu, 18 Januari 2017
Selasa, 17 Januari 2017
Pengelolaan Lahan Basah Ekosistem Berbasis Masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Komponen-Komponen
Penyusun Ekosistem Mangrove
Komponen-komponen penyusun ekosistem mangrove
terdiri dari 2 komponen yaitu komponen
biotik dan komponen
abiotik. Komponen biotik
terdiri dari :
1. Produsen yaitu organism yang
bisa membuat makanannya sendiri (autotropik)
karena memiliki butir-butir klorofil sehingga mapu melakukan proses
fotosintesis. Secara sepintas dapat dilihat bahwa ekosistem mangrove dipenuhi
oleh tumbuhan pepohonan berhijau daun, diantaranya yaitu: Aegiceras corniculatum, Avicennia alba, Avicennia officinalis,
Bruguiera clyndrica, Bruguiera hainessii, Ceriops decandra, Ceriops
tagal, Excoecaria agallocha,
Lumnittzera littorea, Lumnitzera racemosa, Nypa fruticans, Rhizophora
mucronata, Rhizophora stylosa, Schyphypora hydrophyllacea, Sonneratia alba,
Sonneratia ovate, Xylocarpus granatum, dan Xylocarpus moluccensis. Di dalam
kawasan ekosistem mangrove yang selalu tergenang air kemungkinan dapat ditemukan
fitoplankton atau plankton
nabati. Plankton adalah
mikroorganisme atau larva yang melayang dalam air, tidak dapat bergerak sendiri,
atau daya geraknya
lemah sehingga mudah terpengaruh oleh gelombang atau arus air. Beberapa
fitoplankton laut diantaranya adalah : Asterionella,
Amphiphora, Bacillaria, Coscinodiscus, Dytilum, Eucampia, Guinardia, Hemiaulus,
Licmophora, Mastogloia, Nitzschia, Planktoniella, Pleurosigma, Rhizosolenia,
Skeletonema, Surirella, Thalassionema, Thalassiosira, (Diatom), Amphisolenia, Ceratium, Ceratocorys,
Dinophysis, Gonyauulax, Gymnodinium, Noctiluca, Ornithocerus, Peridinium, Prorocentrum, dan
Pyrocycistis (Dianoflagellata).
2. Konsumen yaitu organism yag tidak dapat
membuat makanannya sendiri (heterotropik) sehingga harus
mengambil makannya dari
organisme produsen. Di dalam ekosistem mangrove, organisme konsumen terdiri
atas :
a.
Zooplankton
atau plankton hewani, misalnya : Tintinnopsis,
Dyctiota, Rhabdonella, Globigerina, Aulosphaera, (protozoa), Calanus Centropages, Oithona, Euchaeta Carinaria, Janathina (moluska), dan beberapa
larva ikan yang masih bersifat planktonik (iktioplankton).
b.
Bentos
yaitu organism yang hidup di dasar ekosistem mangrove. Bentos dapat dibedakan
atas epifauna (hidup di atas permukaan dasar) dan infauna (hidup membenamkan diri di dalam dasar).
c.
Neuston yaitu organism yang hidup pada daerah permukaan air.
d.
Perifiton
yaitu organism yang hiodup pada batang, daun, atau akar tumbuhan yang terdapat di dalam ekosistem
mangrove.
e.
Nekton
yaitu organism yang dapat berenang masuk ke dalam dan keluar dari kawasan ekosistem mangrove.
2.2. Peranan
Ekosistem Mangrove
Ekosistem
mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan, mempunyai peranan fungsi
multi guna baik jasa biologis, ekologis maupun ekonomis. Peranan fungsi fisik
mangrove mampu mengendalikan abrasi dan penyusupan air laut (intrusi) ke
wilayah daratan, serta mampu menahan sampah yang bersumber dari daratan, yang
dikendalikan melalui sistem perakarannya. Jasa biologis mangrove sebagai
sempadan pantai, berperan sebagai penahan gelombang, memperlambat arus pasang
surut, menahan serta menjebak besaran laju sedimentasi dari wilayah atasnya.
Selain itu komunitas mangrove juga merupakan sumber unsur hara bagi kehidupan
hayati (biota perairan) laut, serta sumber pakan bagi kehidupan biota
darat seperti burung,
mamalia dan jenis
reptil. Sedangkan jasa mangrove lainnya juga mampu menghasilkan jumlah
oksigen lebih besar dibanding dengan tetumbuhan darat.
Peranan fungsi
ekologis kawasan mangrove yang merupakan tempat pemijahan, asuhan dan mencari
makan bagi kehidupan berbagai jenis biota perairan laut, di sisi lain kawasan
mangrove juga merupakan wahana sangtuari berbagai jenis satwa liar, seperti
unggas (burung), reptil dan mamalia terbang, serta merupakan sumber pelestarian
plasma nutfah.
Manfaat ekonomis
mangrove, juga cukup
memegang peranan penting
bagi masyarakat, karena merupakan wahana dan sumber penghasilan seperti
ikan, ketam, kerang dan udang, serta buah beberapa
jenis mangrove dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Manfaat lainnya merupakan
sumber pendapatan masyarakat melalui budidaya tambak, kulit mangrove bermanfaat
dalam industri penyamak kulit, industri batik, patal dan pewarna jaring, serta
sebagai wahana wisata alam, penelitian dan laboratorium pendidikan.
2.3. Kerusakan pada Ekosistem Mangrove
Kerusakan
ekosistem mangrove lebih disebabkan oleh akibat kegiatan manusia (antropogenik)
baik secara langsung maupun tidak langsung. Kawasan mangrove umumnya berada
pada pesisir dan keberadaannya terancam oleh kebutuhan masyarakat yang berada
di sekitarnya. Kebutuhan itu dapat berupa pemanfaatan lahan untuk pemukiman,
sebagai lahan kegiatan ekonomi seperti industry maupun pertambakan, dan kebutuhan bahan bakar non-migas.
Kebutuhan-kebutuhan itu memaksa
masyarakat untuk melakukan banyak hal yang dapat merusak hutan mangrove seperti
membuka dan menkonversi lahan serta penebangan
liar.
Kerusakan-kerusakan
dapat menurunkan fungsi-fungsi mangrove baik secara bio-ekologis berupa
rusaknya sistem maupun fungsi ekonomis berupa penurunan produksi. Kesalahan manajemen hutan mangrove juga berpotensi besar terhadap degradasi fungsi mangrove.
Ada beberapa dampak yang akan muncul sebagai akibat aktivitas manusia pada atau
sekitar wilayah mangrove antara lain yaitu :
1. Tebang habis berdampak terhadap
berubahnyakomposisi tumbuhan, pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh
spesies-spesies yang nilai komersialnya rendah dan terjadi penurunan fungsi
sebagai feeding, nursery, psawning ground.
2. Pengalihan aliran air tawar
misalnya pada pembangunan irigasi berdampak
pada peningkatan salinitas dan penurunan kesuburan mangrove.
3. Konversi lahan menjadi pertanian,
perikanan dan pemukiman dapat mengancam regenerasi stok ikan udang
di perairan lepas pantai, terjadinya pencemaran laut oleh pencemar
yang sebelumnya diikat oleh substrat mangrove.
Terjadi pendangkalan pantai,
abrasi, dan inutrisi
air alut.
4. Pembuangan sampah cair berdampak
pada penurunan kandungan
oksigen, munculnya gas H2S.
5. Pembuangan sampah padat memungkinkan tertutupnya pneumatopor yang berakibat kematian mangrove dan
perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat.
6. Pencemaran dengan tumpahan minyak
menyebabkan kematian mangrove.
7. Penambangan dan ekstraksi mineral baik
dalam hutan maupun daerah sekitar hutan menyebabkan kerusakan total ekosistem mangrove sehingga
menghancurkan fungsi bio-ekologis mangrove dan terjadinya pengendapan sedimen
yang berlebihan yang menyebabkan kemtian mangrove.
Kerusakan alami
merupakan akibat lanjut dari kerusakan akibat kegiatan antropogenik. Terpaan
ombak yang terus-menerus akan merusak ekosistem mangrove. Akan tetapi, hal ini
tidak akan terjadi apabila tidak terjadi penurunan fungsi mangrove sebagai
penahan gelombang akibat kegiatan manusia.
2.4. Melestarikan Ekosistem Mangrove di Teluk Tamiang
Ekosistem mangrove
yang rusak dapat dipulihkan dengan
cara restorasi atau rehabilitasi. Restorasi dipahami sebgai usaha mengembalikan kondisi lingkungan
kepada kondisi semula
secara alami. Campur
tangan manusia diusahankan sekecil mungkin terutama dalam memaksakan keinginan untuk
menumbuhkan jenis mangrove tertentu menurut yang dipahami/diingini manusia.
Dengan demikian usaha restorasi semestinya mengandung makna member jalan/peluang
terhadap alam untuk mengatur/memulihkan dirinya sendiri. Kita manusia sebagai
pelaku mencoba membuka jalan dan peluang serta mempercepat proses pemulihan
terutama karena dalam beberapa kondisi, kegiatan restorasi secra fisik kan
lebih murah dibandingkan kita memaksakan penanaman mangrove secara langsung.
Restorasi perlu
dipertimbangkan ketika suatu system telah berubah dalam tingkat tertentu
sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau memperbaharui diri secara alami.
Dalam kondisi seperti ini, ekosistem homeostasis telah berhenti secara permanen
dan proses normal untuk suksesi tahap kedua atau perbaikan secara alami setelah
kerusakan terhambat oleh bebagai sebab.
Secara umum habitat bakau dapat memperbaiki
kondisinya secara alami dalam waktu 15-20 tahun jika :
1. Kondisi
normal hidrologi tidak
terganggu
2. Ketersediaan biji dan habitat serta
jaraknya tidak terganggu atau terhalangi.
Jika kondisi hidrologi
adalah normal atau mendekati normal
tetapi biji bakau tidak
dapat mendekati daerah
restorasi, maka dapat
direstorasi dengan cara penanaman.
Oleh karena itu, habitat bakau dapat diperbaiki tanpa penanaman, maka rencana
restorasi harus terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut yang terhalangi atau tekanan-tekanan lain
yang mungkin menghambat perkembangan bakau.
Pengelolaan hutan mangrove di Indonesia saat
ini diarahkan kepada rehabilitasi karena banyaknya kawasan yang rusak sehingga
jika kegiatan tersebut berhasil, diharapkan dapat mengembalikan fungsi
ekologisnya untuk menyediakan jasa
lingkungan bagi masyarakat sekitarnya dan bagi masyarakat yang berada di luar
kawasan tersebut. Namun kegiatan rehabilitasi tersebut tidak bisa mengabaikan
isu-isu ekonomi dan soaial terkait kehadiran masyarakat di sekitarnya.
Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan Mangrove sangat penting
karena dapat menjadi faktor sukses dari pengelolaan itu sendiri, sebagaimana
terbukti pada beberapa kegiatan rehabilitasi mangrove di daerah Sinjai Sulawesi
Selatan (Irawanti dan Kuncoro, tanpa tahun) dan Aceh (Kusmana dan Samsuri,
2009). Pelibatan masyarakat juga dilakukan di banyak negara seperti Vietnam dan
Bangladesh (Islam, tanpa tahun ).
Menurut Kementrian Kehutanan (2013)
menyebutkan pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat merupakan bagian
dari kebijakan Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem
Mangrove guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendukung pembangunan
yang berkelanjutan. Pengelolaan mangrove harus mengikuti azas: (1).
Transparansi, yaitu bisa diakses oleh semua pihak untuk ditinjau ulang; (2).
Partisipatif, yaitu mengakomodasi semua komitmen stakeholders dan dapat
diterapkan secara partisipatif ; (3). Akuntabilitas, yaitu disosialisasikan
kepada publik dan dikaji secara menyeluruh, ilmiah serta dapat
dipertanggungjawabkan; (4). Responsif, yaitu mampu mengantisipasi perubahan
komitmen lokal, nasional dan global terhadap
ekosistem mangrove; (5). Efisiens, yaitu mempunyai kemampuan untuk
menserasikan kebijakan (Pusat dan Daerah) secara harmonis; (6). Efektif, yaitu
dapat dilaksanakan tepat sasaran oleh para pihak baik pemangku kepentingan
maupun masyarakat ; dan (7) Berkeadilan, yaitu mampu memberikan manfaat sesuai
dengan tanggung jawab masing-masing pihak yang
terlibat.
Faktor lain yang penting diperhatikan
dalam pengelolaan mangrove berkelanjutan adalah pengakuan terhadap masyarakat
adat dan kearifan lokal yang dimilikinya. Menurut UU Nomor 32/2009, nilai-nilai
luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat perlu dihidupkan kembali
guna melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Sedangkan mengacu kepada Kementrian
Kehutanan (2013) keterpaduan dalam pengelolaan mangrove direalisasikan dengan
cara :
1.
Pengelolaan ekosistem mangrove
sebagai bagian integral dari pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan
pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai).
2.
Memperkuat komitmen politik dan
dukungan kuat pemerintah, pemerintah daerah, dan para pihak.
3.
Koordinasi dan kerjasama antar
instansi dan para pihak terkait secara vertical dan horizontal.
4.
Peningkatan kapasitas Pemerintah
Daerah dalam melaksanakan kewenangan dan kewajiban pengelolaan ekosistem
mangrove sesuai dengan kondisi dan aspirasi
lokal.
5.
Pengembangan riset, iptek dan
sistem informasi yang diperlukan untuk memperkuat pengelolaan ekosistem
mangrove yang berkelanjutan.
6.
Pengelolaan ekosistem mangrove
melalui pola kemitraan antara pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan
masyarakat dengan dukungan lembaga dan masyarakat Internasional, sebagai bagian
dari upaya mewujudkan komitmen lingkungan global.
Keterpaduan pengelolaan mangrove dalam
konteks wilayah dikenal dengan istilah ekoregion, yang dalam UU nomor 32/2009
diterjemahkan sebagai wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim,
tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam
yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Konsep ini
sulit diterapkan di Indonesia karena
pembagian wilayah admnistrasi yang tidak memperhatikan kesamaan karakteristik
kawasan. Akibatnya pembangunan di suatu wilayah administrasi berpotensi merusak
kawasan di wilayah administrasi lainnya karena perencanaan dan pelaksanakan
pembangunan yang tidak terintegrasi dengan baik.
Kusmana (2010) menganjurkan
pentingnya pengelolaan mangrove yang rasional, Mangrove harus dimanfaatkan
berdasarkan prinsip keberlanjutan dan untuk tujuan beragam ( multipurpose) sesuai dengan diversitas dan potensi sumberdaya dan
jasa lingkungan yang dapat disediakan, sebagaimana dijelaskan pada gambar
berikut.
Gambar 1 Multi-Use Pengelolaan Wilayah Pesisir
(sumber: Kusmana, 2010)
Selanjutnya Kusmana (2010)
menjelaskan pengelolaan mangrove harus dapat dipanen secara berkelanjutan dan
dipertahankan secara alami seperti
semula. Preservasi sebagian areal mangrove yang betul-betul tidak
terganggu (pristine mangrove forest) seharusnya
diperjuangkan atau dialokasikan sehingga jika suatu pengelolaan mengalami
kegagalan yang menyebabkan kerusakan bahkan hilangnya mangrove tersebut, bagian
pristine mangrove forest dapat menjadi
penyelamat kondisi tersebut. Ekosistem mangrove harus dikelola berdasarkan pada
paradigma ekologi yang meliputi prinsip-prinsip interdependensi antar unsur
ekosistem, sifat siklus dari proses ekologis, fleksibilitas, diversitas dan
koevolusi dari organisme beserta lingkungannya dalam suatu unit fisik DAS.
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari makalah tentang
ekosistem mangrove ini yaitu :
1. Komponen penyusun dari ekosistem mangrove yaitu komponen
biotic dan komponen abiotik.
2. Ekosistem mangrove memiliki penanan
biologis, ekologis, dan ekonomis
3. Kerusakan ekosistem mangrove di Teluk Tamiang diakibatkan oleh kegiatan manusia dan faktor alami
yaitu tsunami.
4. Ekosistem mangrove di Teluk Tamiang yang rusak
dapat dipulihkan dengan
cara restorasi atau rehabilitasi.
B.
SARAN
Dalam penyusunan makalah ini memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, saya memerlukan kritik dan
saran dari berbagai pihak sehingga makalah ini
menjadi lebih baik dan bermanfaat
DAFTAR PUSTAKA
https://staff.blog.ui.ac.id/tarsoen.waryono/files/2009/12/22-restorasi-
mangrove.pdf
http://pdfuua.org/k-219401.html http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20200/5/Chapter%20I.pdf http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30201/5/Chapter%20I.pdfhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27011/4/Chapter%20II.pdf
Langganan:
Postingan (Atom)